Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami tekanan sejak hari pertama pembukaan perdagangan di dalam negeri. Rupiah sempat tembus level Rp 16.245 per dolar AS pada perdagangan kemarin, Rabu (17/4/2024).
Serangan Iran terhadap Israel dan rencana pemangkasan suku bunga the Fed menjadi sentimen utama yang mempengaruhi gerak rupiah. Hal ini pun ditegaskan kembali oleh Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti.
BI memastikan perekonomian domestik dalam kondisi baik, meskipun kini nilai tukar rupiah dalam tren pelemahan yang cukup dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Menurut Destry, dolar yang kini sudah menembus Rp16.200 disebabkan oleh sentimen negatif dari global. Tak cuma Indonesia, hampir seluruh mata uang juga bertekuk lutut di depan dolar AS.
“Mari kita jangan membuat pasar panik, karena akan merepotkan. Karena sebenarnya tidak ada masalah di dalam negeri, ini memang disebabkan oleh faktor global,” katanya di Istana Kepresidenan, Jakarta, dikutip Kamis (18/4/2024).
Sementara itu, Mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menganggap konflik antara Iran dan Israel telah memperlihatkan kelemahan perekonomian Indonesia. Kelemahan tersebut adalah ketidakstabilan eksternal Indonesia dari ketidakpastian global, seperti konflik antara kedua negara tersebut.
Titik lemah ini membuat rupiah sering terguncang saat ada sentimen dari luar. Padahal, Bambang memastikan ekonomi Indonesia memiliki kinerja yang baik.
“Secara jujur, meskipun pertumbuhan ekonomi kita stabil dengan pertumbuhan rata-rata 5% per tahun dan inflasi yang terkendali sekitar 3% atau lebih rendah, tetapi masih ada kerentanan dalam hal keseimbangan eksternal yang tercermin dari neraca perdagangan kita,” kata Bambang dalam acara CNBC Indonesia Closing Bell, seperti yang dikutip Kamis (18/4/2024).
Dia mencontohkan ketidakstabilan keseimbangan eksternal Indonesia dapat dilihat dari kondisi rupiah saat ini, terutama ketika menghadapi suku bunga yang tinggi di Amerika Serikat. Menurutnya, jika perekonomian Indonesia kuat secara internal, maka Indonesia tidak akan kesulitan menghadapi gejolak global akibat kebijakan suku bunga yang diterapkan The Federal Reserve.
“Dengan suku bunga yang tinggi misalnya di Amerika, akan mudah terjadi arus keluar… jika kita memiliki kekuatan internal untuk menjaga keseimbangan eksternal tersebut, seharusnya dampaknya tidak akan terlalu merugikan,” ujarnya.