Bandara internasional Kaledonia Baru akan tetap ditutup setidaknya hingga pekan depan, 2 Juni 2024. Keputusan itu diambil menyusul terjadinya kerusuhan besar yang telah terjadi selama dua minggu belakangan ini di negara yang dikuasai Prancis tersebut.
Pecahnya aksi kekerasan di Kaledonia Baru dipicu oleh proposal reformasi pemilu oleh Majelis Nasional di Paris. Reformasi itu memberikan hak pilih kepada warga Prancis yang telah tinggal di sana selama lebih dari 10 tahun. Akibat kerusuhan ini, 7 orang dilaporkan tewas, sementara banyak mobil dibakar dan pertokoan dijarah.
Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Kamis kemarin mengunjungi langsung Kaledonia Baru untuk meredakan ketegangan. Dia memutuskan menghentikan sementara reformasi pemilu. Namun, keputusannya itu dianggap gagal memenuhi tuntutan partai pro-kemerdekaan yang menuntut reformasi pemilu dibatalkan seluruhnya.
“Saya tidak akan pernah membuat keputusan untuk menunda atau menangguhkan di bawah ancaman kekerasan,” kata Macron dikutip dari Reuters, Minggu, (26/5/2024).
Macron mengancam apabila partai pro dan anti-kemerdekaan gagal mencapai kesepakatan mengenai masa depan negara ini, dirinya akan mengadakan kongres khusus untuk meratifikasi reformasi pemilu. Opsi lainnya, kata dia, adalah pelaksanaan referendum.
Macron juga mendesak pengunjuk rasa pro-kemerdekaan untuk menghentikan kekerasan yang mereka lakukan di pulau itu.
“Ada latar belakang politik dalam kekerasan ini. Apa hubungannya penjarahan supermarket, pembakaran sekolah, tebusan orang dengan perang kemerdekaan? Tidak ada! Ini adalah tindakan bandit tingkat tinggi,” katanya.
Prancis mencaplok Kaledonia Baru pada tahun 1853 dan memberi koloni itu status wilayah luar negeri pada tahun 1946. Kaledonia Baru adalah sumber nikel nomor tiga di dunia. Namun sektor ini berada dalam krisis dan satu dari lima penduduk negara itu hidup di bawah garis kemiskinan.
Pemilu di negara tersebut dirombak pada tahun 1998 berdasarkan perjanjian Noumea dan membuka jalan menuju otonomi bertahap. Sementara, para pengunjuk rasa khawatir reformasi pemilu akan melemahkan suara masyarakat adat Kanak yang menjadi 40% dari populasi pulau berpenduduk 270 ribu jiwa tersebut.