Juru bicara dan tim ahli ekonomi pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Thomas Lembong, mengkritisi pengelolaan utang luar negeri pemerintah saat ini yang didominasi dolar Amerika Serikat, dan minim inovasi dengan denominasi lain, seperti yen Jepang, renminbi China, serta euro Eropa.
Lembong menilai, komposisi utang luar negeri yang konservatif itu membuat tekanan bunga utang tinggi, terutama akibat tingginya nilai tukar dolar AS beberapa waktu terakhir, hingga tren fluktuasi atau ketidakstabilannya yang tinggi dibanding mata uang lain, seperti yen, renminbi, maupun euro.
“Kenapa kita hadapi masalah utang karena hampir semua utang luar negeri kita yang merupakan utang valas itu didominasi dolar,” kata Lembong dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, dikutip Kamis (2/11/2023).
“Sementara dolar terus menguat, bayangkan kalau utang luar negeri kita lebih beragam, katakan sebagian diterbitkan dalam yen, euro, bahkan yuan. Rupiah jauh lebih stabil terhadap yen, renminbi, dan euro ketimbang dolar,” tuturnya.
Merespons hal itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto menjelaskan, komposisi utang luar negeri dalam bentuk dolar Amerika Serikat memang tinggi dibanding denominasi lain, seperti yen, dan euro. Namun, yang menjadi fokus pemerintah saat ini adalah meningkatkan porsi utang pemerintah dalam bentuk rupiah.
Selama lima tahun terakhir, Suminto mengatakan, porsi utang dalam denominasi rupiah hingga akhir September 2023 telah mencapai 72,08% dari total utang pada periode itu sebesar Rp 7.891,61 triliun. Sementara itu, dalam bentuk dolar porsinya sebesar 20,06%, yeng Jepang 3,23%, euro Zona Eropa sebesar 4,19%, dan mata uang lainnya hanya sebesar 0,41%.
Komposisi itu jauh berbeda dengan level pada 2018 silam. Pada tahun itu, komposisi utang pemerintah pusat sebesar 58,41% dalam bentuk rupiah, 30,38% dalam bentuk dolar Amerika Serikat, 5,8% dalam bentuk yen Jepang, 4,43% dalam bentuk euro, dan 0,96% dalam bentuk mata uang asing utama lainnya.
“Pemerintah terus meningkatkan porsi utang dalam rupiah. Porsi utang Pemerintah terus meningkat dari 58,41% (2018) menjadi 66,43% (2020), dan 72,08% (September 2023),” kata Suminto kepada CNBC Indonesia.
Ia menekankan, utang dalam bentuk valas sendiri sifatnya hanya sebagai pelengkap dan hanya untuk mengurangi crowding out di pasar domestik. Crowding out sendiri merupakan kondisi yang terjadi ketika kebijakan pemerintah yang bersifat ekspansif menurunkan pengeluaran investasi dari sektor swasta karena tingginya imbal hasil obligasi pemerintah.
Sementara itu, untuk komposisi utang valas pemerintah yang masih didominasi dolar AS, menurut Suminto disebabkan pertimbangan utama pemerintah memiliki banyak penerimaan negara dalam bentuk dolar AS, sehingga terjadi natural hedging atau keseimbangan arus kas antara uang yang masuk dengan yang keluar.
“Selain itu likuiditas USD di pasar global memang lebih besar daripada JPY dan EURO. Dalam mengelola portofolio utang Pemerintah pun kami melakukan optimalisasi komposisinya, baik dari sisi tenor, currency, maupun suku bunga, sehingga dapat secara optimal dikelola risiko dan biayanya,” ucap Suminto.
Sebagai informasi, terkait realisasi belanja pembayaran bunga utang pemerintah sebagaimana yang disinggung tim ekonomi Anies-Muhaimin, memang tercatat terus meningkat dari tahun ke tahunnya. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2022 yang telah diaudit, realisasi belanja pembayaran bunga utang tahun lalu mencapai Rp 386,34 triliun, atau 95,19% dari yang dianggarkan dalam APBN 2022 sebesar Rp 405,86 triliun.
Realisasi belanja pembayaran bunga utang 2022 lebih besar Rp 42,84 triliun atau naik 12,47% dari realisasi pada 2021 sebesar Rp 343,49 triliun. Pada 2020, belanja bunga utang pun telah mencapai Rp 314,09 triliun, naik dari posisi 2019 sebesar Rp 275,52 triliun, 2018 menjadi Rp 257,95 triliun, dan pada 2017 yang sebesar Rp 216,57 triliun.
Komposisi belanja pembayaran bunga utang pada pun 2022 di antaranya didominasi dari belanja pembayaran bunga utang dalam negeri jangka panjang sebesar Rp 283,64 triliun atau naik dari 2021 sebesar Rp 260,62 triliun, dan belanja pembayaran bunga utang luar negeri jangka panjang sebesar Rp 12,72 triliun atau naik dari 2021 sebesar Rp 10,63 triliun.
Artikel Selanjutnya
Media Asing Soroti Duet Anies-Cak Imin, Cara Tarik Suara NU?
(mij/mij)