Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon-1 diprioritaskan untuk mendapatkan pendanaan transisi energi dari berbagai negara maju, termasuk Jepang dan Amerika Serikat (AS), melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP).
Hal tersebut diungkapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif saat acara peluncuran komitmen investasi Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP. Seperti diketahui, Amerika Serikat dan sejumlah negara maju lainnya telah menginisiasi pendanaan transisi energi khusus untuk Indonesia melalui JETP ini dengan nilai komitmen hingga US$ 20 miliar atau sekitar Rp 300 triliun.
Arifin menyebutkan, pensiun dini PLTU Cirebon-1 menjadi proyek prioritas untuk diberikan dana JETP. Setelah itu, dia menyebut pihaknya akan memprioritaskan program pembangunan transmisi listrik.
“Yang kita targetkan yang (pensiun dini PLTU) Cirebon-1 dulu nih. Nah habis itu masuk ke transmisi lah,” ungkap Arifin saat ditanya proyek mana yang diprioritaskan untuk pendanaan JETP, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (21/11/2023).
Selain itu, dia mengatakan bahwa proyek transmisi listrik yang akan diprioritaskan setelah pensiun dini PLTU Cirebon-1 adalah proyek transmisi atau jaringan listrik (grid) yang akan menghubungkan kelistrikan Jawa-Sumatera Selatan-Sumatera Utara.
“Jawa kan kelebihan (pasokan listrik), kita kirim ke Sumatera Selatan, Sumatera Selatan kelebihan (pasokan listrik) kirim ke atas (Sumatera Utara),” ungkapnya.
Semula, pemerintah sendiri telah menyiapkan dua PLTU yang akan masuk dalam program pensiun dini, di antaranya yakni PLTU Cirebon-1 dan PLTU Pelabuhan Ratu. Namun yang memungkinkan untuk ditransaksikan pada tahun ini yaitu PLTU Cirebon-1.
“Cirebon-1, karena yang paling memungkinkan,” ungkap Arifin di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Menurut Arifin, untuk PLTU Cirebon-1 sendiri sudah terdapat komitmen dukungan dari Asian Development Bank (ADB) untuk merealisasikan percepatan pengoperasian PLTU. Meski begitu, ia belum dapat memastikan seberapa besar dana yang akan dikucurkan oleh ADB tersebut.
“Ini kan baru principle-nya tapi sudah ada kajiannya. Dananya ogut (saya) belum lihat,” kata dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno membeberkan untuk merealisasikan penghentian operasional dua PLTU tersebut dana yang dibutuhkan mencapai Rp 25 triliun. Dengan rincian, PLTU Pelabuhan Ratu sebesar Rp 12 triliun dan untuk PLTU Cirebon-1 sebesar Rp 13 triliun.
“APBN tidak mungkin, tidak kuat untuk menanggung pensiun dini. Ini harus ada sumber-sumber lain yang kita tahu ada sumber dari JETP kita juga tahu ada dukungan dari ADB untuk melakukan pensiun dini, kita tahu saat ini untuk memensiunkan dini PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon satu itu dibutuhkan dana Rp 25 triliun,” ujarnya dalam acara Energy Corner, CNBC Indonesia, Selasa (24/10/2023).
Oleh sebab itu, perlu adanya sumber-sumber pendanaan lain yang dapat digunakan untuk mendukung program pensiun dini PLTU ini. Misalnya, pendanaan melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan dukungan dari Asian Development Bank (ADB).
“Untuk Cirebon-1 ini sudah ada komitmen dari ADB untuk membiayainya, nah ini kan besar sekali baru dua PLTU,” kata dia.
Sementara itu, Kementerian Keuangan baru saja menerbitkan peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 Tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan Dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan.
Melalui aturan baru tersebut, pembiayaan terkait penghentian operasional sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) lebih cepat dari rencana awal alias pensiun dini akan menggunakan APBN.