Konflik dalam perang saudara di Suriah semakin memanas, dengan lebih dari 1.000 orang tewas, termasuk wanita dan anak-anak dari kelompok minoritas Alawi. Kekerasan terburuk ini terjadi di pusat Suriah, dengan aksi pembunuhan yang meluas di beberapa daerah, seperti Jableh dan Baniyas. Penguasa baru Suriah semakin gencar menindak para militan mantan Presiden Bashar al-Assad, yang disebut sebagai ‘pemberontak’. Ketegangan semakin meningkat setelah serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok militan pendukung rezim di Suriah, menyebabkan puluhan pasukan keamanan tewas. Pasukan keamanan Suriah menanggapi kejadian ini dengan tindakan keras, membentuk komite darurat untuk memantau pelanggaran.
Respons presiden sementara Suriah, Ahmed Sharaa, adalah penting untuk menjaga kondisi lapangan agar tetap kondusif. Ia menekankan pentingnya komitmen terhadap nilai-nilai moral, sambil menekankan perlunya perlakuan yang manusiawi terhadap warga sipil dan tawanan. Dampak dari kekerasan ini terasa di masyarakat Suriah, dengan gambar dan berita duka yang tersebar di media sosial. Penduduk Alawi dan Kristen di sekitar wilayah pesisir Suriah dilaporkan meninggalkan rumah mereka untuk mencari perlindungan di tempat-tempat aman, seperti pangkalan militer Rusia. Pembunuhan, penjarahan, dan kebakaran rumah terus terjadi di beberapa desa sekitar Baniyas, menimbulkan kekhawatiran bagi keselamatan penduduk.
Situasi ini menggarisbawahi perjuangan otoritas baru Suriah dalam menjaga ketenangan dan ketertiban di negara tersebut. Pembunuhan sektarian dan pengusiran penduduk minoritas menjadi isu sensitif dalam konflik ini, memunculkan pertanyaan tentang kemampuan pemerintah untuk memerintah secara inklusif. Konflik ini semakin diperumit dengan latar belakang politik yang rumit setelah pemberontakan terhadap mantan Presiden Assad pada tahun sebelumnya. Pihak berwenang berusaha memulihkan ketenangan dan mencegah pelanggaran terhadap warga sipil, namun situasi di Suriah masih terus membara.