Proses pemakzulan presiden atau wakil presiden di Indonesia tidaklah dilakukan secara sembarangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah menetapkan mekanisme yang ketat dan berlapis untuk pemakzulan ini. Pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, seperti presiden atau wakil presiden, bisa diberhentikan dari jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran serius terhadap hukum atau konstitusi.
Usulan pemakzulan harus diajukan oleh DPR kepada MPR sesuai Pasal 7B ayat (1) UUD 1945. Sebelumnya, DPR akan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa apakah presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Jika MK menemukan pelanggaran, DPR akan melanjutkan prosesnya dengan mengajukan usulan pemberhentian kepada MPR.
Mekanisme pemakzulan presiden atau wakil presiden melibatkan DPR sebagai pengusul, MK sebagai lembaga penilai dugaan pelanggaran, dan MPR sebagai pengambil keputusan akhir. Proses ini tidak bisa dilakukan sembarangan dan harus mengikuti prosedur hukum dan konstitusional yang ketat. Dari tahapan ini, dapat disimpulkan bahwa pemberhentian presiden atau wakil presiden memang menjadi kewenangan MPR, tetapi dengan keterlibatan DPR dan MK untuk memastikan keabsahan pemakzulan.