Situasi Timur Tengah semakin tidak menentu dengan Iran yang akan menutup Selat Hormuz setelah Amerika Serikat mengebom tiga fasilitas nuklir Iran. Langkah ini didukung oleh Parlemen Iran dan masih menunggu keputusan dewan keamanan nasional negara tersebut. Pertemuan ini menjadi yang pertama sejak konflik Iran-Israel berlangsung sejak 1979, mengingat Selat Hormuz adalah jalur kritis yang dilalui oleh pasokan minyak dan gas dunia. Selat ini menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab dan Samudra Hindia, di mana sebagian besar ekspor minyak dari negara-negara besar regional harus melaluinya.
Menutup Selat Hormuz dapat berdampak pada ekonomi global karena sekitar 20% konsumsi minyak dunia mengalir melalui jalur ini. Dengan AS meminta China untuk mencegah Iran menutup selat tersebut, mengingat China adalah pelanggan minyak terpenting Iran. Ekspor minyak dari Iran merupakan sumber pendapatan utama bagi negara tersebut, sehingga menutup Selat Hormuz akan membahayakan perekonomian mereka. Harga minyak juga melonjak lebih dari 2% setelah serangan AS terhadap Iran, memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan. Goldman Sachs dan firma konsultan Rapidan Energy memperkirakan harga minyak dapat melonjak di atas US$100 per barel jika selat tersebut ditutup untuk jangka waktu yang lama.
Dalam konteks hubungan internasional, situasi di Timur Tengah menjadi semakin kompleks dan berdampak pada stabilitas ekonomi global. Selat Hormuz menjadi pusat perhatian sebagai jalur vital bagi pasokan energi dunia, dengan implikasi geopolitik yang signifikan. Diperlukan langkah-langkah diplomasi yang tepat untuk mengatasi ketegangan dan menjamin keberlangsungan pasokan minyak yang vital bagi kebutuhan energi global. Semua pihak harus bekerja sama untuk mencegah eskalasi konflik dan menjaga stabilitas di kawasan tersebut.