Pada semester II tahun 2025, Pemerintah menyoroti sejumlah risiko yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia. Peluang-peluang tersebut dikemukakan dalam Laporan Pemerintah mengenai Pelaksanaan APBN Semester I Tahun Anggaran 2025. Di sisi lain, situasi ekonomi global masih diprediksi akan fluktuatif hingga akhir tahun 2025. Indikator utama seperti PDB global, perdagangan internasional, harga komoditas, inflasi, dan suku bunga global, semuanya tetap menjadi fokus perhatian.
Beberapa risiko global yang mendapat sorotan mencakup tingginya tingkat suku bunga global, eskalasi tensi geopolitik, tingkat utang negara yang tinggi pasca pandemi, volatilitas di sektor ekonomi global, perang dagang, serta kebijakan tarif AS. Namun, meskipun demikian, lembaga internasional seperti IMF, World Bank, dan OECD masih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar antara 4,7-5,0% di tahun 2025.
Selain itu, tekanan global juga berdampak pada target pendapatan negara tahun 2025. Faktor-faktor seperti harga komoditas yang moderat, perlambatan pertumbuhan ekonomi global, penurunan aktivitas perdagangan internasional, dan lifting minyak yang rendah, semuanya dapat mempengaruhi jenis pendapatan negara terkait. Sampai dengan akhir Juni 2025, realisasi pendapatan negara mencapai sekitar 40,0% dari target APBN tahun 2025.
Ketidakpastian harga internasional komoditas dapat memberikan tekanan pada pendapatan negara berbasis komoditas. Hal ini juga mencakup berbagai jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selain itu, dinamika ekonomi global yang dipengaruhi oleh perang dagang dan kebijakan tarif AS memberikan ketidakpastian terhadap investasi, yang dapat berdampak langsung pada Penerimaan Perpajakan maupun PNBP.
Belanja negara juga berpotensi naik seiring dengan perubahan variabel ekonomi makro. Pada semester I tahun 2025, terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi dan penurunan inflasi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, suku bunga berdampak pada belanja negara, terutama belanja pembayaran bunga utang. Hal ini membuat pemerintah harus menyesuaikan sisi belanja, terutama dalam meningkatkan belanja pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi.
Dalam konteks global yang lebih luas, sentimen investor terhadap negara-negara berkembang semakin berhati-hati. Hal ini juga mencerminkan pergerakan nilai tukar rupiah yang terbebani tekanan, meskipun telah ada upaya stabilisasi oleh otoritas moneter. Dinamika ekonomi makro juga dapat mempengaruhi risiko portofolio utang melalui fluktuasi nilai tukar dan suku bunga. Oleh karena itu, perubahan pada asumsi dasar ekonomi makro berdampak besar terhadap belanja negara dibandingkan pendapatan.